-Kematian
Jack Loarde-
Seperti
sebuah tirai dari kain berwarna merah menutupi lelaki yang sedang jongkong
melihat kearah perapian. Ternyata satu hal yang dipikirkan olehnya adalah
kedatangan saya disini bukan untuk membantu masalah, sepertinya kedatangan saya
sangatlah menjadi bencana dipikirannya. “Masihkah kau memikirkan dirinya,
Jack?.” Aku mencoba menyapanya seolah-olah saya peduli dengan dirinya. Namun
matanya hanya menatapku dengan kebencian. Mata yang aku lihat sama persis saat
ayah mentertawakannya sambil di saloon. Saat itu aku masih berada dalam
kandungan ibuku, dan saat itu ibuku sudah tidak menjahit ditempat kelahirannya.
Kesalahan
Jack saat itu adalah melanggar kontrak bersama ayahku.
The Deal of Cowboy adalah
salah satu perjanjian ayahku bersama Jack Loarde tentang wilayah kekuasaan
perdagangan dan wilayah kekuasaan pertanian di daratan Amerika. Disamping
itupun, ada salah satu perjanjian rahasia diantara mereka berdua, mereka
menyebutnya Secret of Satanism Voodoo.
Rahasia itu terbongkar oleh ku, karena aku yang menjadi sasaran mereka.
Ayahku
bukan lah orang yang jahat. Ibuku pula bukan salah satu dari penganut ajaran
menyesatkan. Hal-hal yang terbayangkan sebelumnya itu sangat jauh dari
kehidupan keluarga ku. Ayah seorang pengusaha pertanian didaratan Amerika,
yaitu Santa Fe, dan ibuku adalah seorang penjahit pakaian di Vegas, entah
bagaimana mereka bertemu, aku selalu bersyukur terhadap kesucian cinta mereka.
Ayahku
bertemu dengan seorang Jack Loarde disaat ayahku memanen jagung di beberapa hektar
lahan pertaniannya, dan saat itu Jack sedang berdiri dengan menggunakan
kerudung hitam ala Voodoo setempat. Ayahku menghampirinya dan ketika ayahku
hampir dekat dengannya, sebuah ilusi hitam tiba-tiba menyelimuti penglihatannya
dan hanya ada satu titik cahaya merah memancing ayahku untuk mengikutinya.
Ternyata cahaya itu menuntun ayahku kedalam suatu kampung para dukun yang
keseluruhan adalah para pemuja setan dan sangat jauh dari kehidupan manusia
biasa.
“Dawson.......”
Suara aneh terdengar disekeliling pendengaran ayahku.
“Siapa
kau? Apa mau mu?.”
“Kau
tidak akan bisa keluar dari tempat ini.”
“Tampakan
dirimu, apa mau mu?.” Ayahku menempelkan kedua telapak tangannya ke kepalanya
yang tengah pusing menahan suara yang cukup keras, suara yang entah datang dari
arah mana.
Tiba-tiba
seseorang yang memakai kerudung hitam tadi muncul didepan wajah ayahku dan
langsung mencekik ayahku hingga sesekalinya ia batuk dengan keras.
“Aku
adalah Jack Loarde, kepala suku ditempat ini, apa mau ku? Apa mau mu didunia!
Hahaha.”
Ayahku
terus merasa kesakitan karena cekikannya yang cukup mencengkram kuat. “Apa mau
mu? Katakan.”
“Serahkan
sebagian lahan pertanian mu dan aku akan membebaskan warga mu dengan
kutukan-kutukan yang kami buat.” Jack loarde mulai melepaskan cekikan kepada
ayahku. Kemudian ayahku tersentak dan batuk dengan keras, hampir saja dia mati
karena sesak pada pernafasannya.
“Apapun
itu, aku akan berkorban untuk warga ku. Cepat lakukan.”
“Aku
akan melakukan suatu perjanjian kepada mu, setengah dari lahan perkebunan mu
akan aku jadikan perkampungan kami, dan kami berjanji tidak akan mengusik
kehidupan kalian, manusia polos. Hahahaha!.”
Kemudian
berjalan seorang laki-laki membawa buku tua yang terbuat dari kulit kayu dan
akar pohon. Dia membuka buku tersebut dan berisi tulisan-tulisan yang tidak
sama sekali ayahku mengerti. Tulisan tersebut seperti tulisan-tulisan kuno dan
hanya dimengerti oleh penganut dan penulisnya saja, tetapi ayahku mengerti apa
yang akan dilakukannya, semua demi kebebasan kaum manusia yang tidak berdosa.
Kemudian ayahku digenggam kedua tangannya oleh laki-laki berjubah tersebut dan
dihadapkan kepada buku itu. Jack mengambil pedang panjang yang cukup tajam dan
bisa saja dia menebas kepala ayahku dengan cepatnya, namun yang hanya dia
lakukan adalah mengambil sedikit darah dari tangan ayahku san meneteskannya ke
buku tersebut. Perjanjian dimulai.
Sayup-sayup
nada berkumandang dari kerumunan orang-orang yang tidak dikenal, mungkin suatu
ayat-ayat ritual yang bisa membangunkan suatu hal yang astral. Semakin
ayat-ayat itu dikumandangkan, ayahku semakin takkuasa untuk berteriak
kesakitan. Hingga dia terkapar pingsan.
***
Hari
itu orang-orang merasa aneh dengan adanya dukun disekeliling rumahnya, dan
mereka semua heran dengan apa yang telah terjadi didaerah pertaniannya. Para
petani pun banyak yang mengunjungi rumah ku dan bertanya kepada ayahku tentang
apa yang telah terjadi belakangan itu. “Apa yang kau lakukan dengan daerah
pertanian mu? Apa kau menjual nya kepada para dukun itu?.” Seorang petani tua sambil
memegang garpu bertanya dengan nada yang cukup keras. Namun ayahku hanya
terdiam membisu dan dia malah berjalan keluar sambil menghisap sebatang cerutu
di bibirnya. “Apa yang telah terjadi Dawson? Mengapa mereka hidup disekitar
kita?.” Petani itu semakin mengancam kedapa ayahku.
“Kau
akan selamat oleh ku, dan berterimakasih kepadaku.”
“Apa
maksud mu? Aku merasa terusik dengan adanya mereka diperkampungan kita.”
Kemudian
ayahku menceritakan segala hal yang telah terjadi dan menimpa secara tidak
langsung terhadap wilayah pertaniannya.
Satu tahun kemudian setelah kejadian
tersebut terjadi, bau busuk dari bakai-bangkai hewan sangat tercium tajam
disekitar perkampungan itu. Orang-orang semakin merasa tersiksa dengan tingkah
para dukun itu yang sangat merasahkan warga.
“Apa
kau tidak merasa kasihan kepada rakyat mu?.”
“Tenang
istriku, aku akan menjaga mereka dan aku percaya kepada mereka, buktinya aku
tidak melihat jatuhnya korban dari ulah mereka.”
Saat
itu aku sedang terkandung dalam rahim ibuku.
“Bagaimana
kandungan mu? Aku sudah tidak sabar merawatnya.” Ayahku tersenyum sambil
memegang perut ibuku.
“Aku
harap anak kita ini tidak merasakan kesengsaraan kita ini.” Ibu ku langsung
bergegas menuju kamar.
Ayah
pergi keluar, berkeliling kedaerah pertaniannya, sesekali dia melihat
orang-orang yang sedang berkumpul di saloon. Sahut warga mengajak ayah untuk
minum, tetapi entah kenapa dia tidak ingin untuk melakukan hal tersebut seperti
biasanya, dia hanya tersenyum dan melambaikan tangannya, kemudian dia melanjutkan
perjalanannya entah kemana dia akan menuju.
Ternyata
dia menghampiri perkampungan para dukun tersebut, mungkin dia ingin tahu apa
yang terjadi akhir-akhir itu. Dia merasakan apa yang diresahkan oleh warganya,
dan merasa mu;lai terusik dikehidupannya yang dulu pernah merasa berjaya.
Semenjak orang-orang merasa tersiksa, batin nya terasa sakit sebagai pemimpin
kampung dia bersalah telah melakukan perjanjian tersebut, seharusnya ia tidak
menerima perjanjian itu dan lebih baik dia yang menjadi korban.
Bau
bangkai mulai enusuk kehidung, entah bau apa yang tercium sepertinya bukan dari
bau daging hewan karena ayahku sangat mengerti tentang dunia flora dan fauna.
Semakinlah dia bersemangat untuk mencari tahu, dan dibuka lah gerbang yang
terbuat dari kayu kering yang digabungkan dengan akar-akar serabut. “kreeeeek....” suara pintu itu terdengar
keras, tetapi tidak ada satu dukun pun yang melihat kedatangan ayahku kesana.
Hanyalah satu gubuk reot yang dilihatnya, mungkin saja itu tempat tinggal
mereka, atau mungkin tempat mereka melakukan suatu ritual kecil tentang
praktikan kedukunannya. Ayahku menghampiri kearah gubuk reot tersebut, dan
ternyata bau bangkai tersebut berasal dari tempat itu, segeralah ayahku membuka
pintu namun pintu tersebut terkunci rapat-rapat dari dalam, ayahku semakin
penasaran dengan apa yang telah terjadi didalam gubuk tersebut.
Apapun
caranya, rasa penasaran ayahku semakin memuncak dan satu-satu nya cara adalah
mendobrak pintu tersebut, tanpa berfikir panjang dia langsung mendorong pintu
itu dengan sepatu boots nya, tapi entah kenapa pintu itu sulit sekali
didobraknya dan bau tersebut semakin tercium tajam dihidungnya. Kemudian dia
mengambil batu besar yang berada tergeletak dibelakangnya, diayunkannya batu
tersebut kearah pintu tersebut, seketika pintu tersebut langsung hancur dan
berlubang. Bau mulai terasa lebih menusuk kedalam hidung, ayahku langsung
berlari kedalam dan kemudian ayahku berlutut sedih kearah apa yang dilihat
dihadapannya, bangkai dari beberapa petani jagung berlumuran darah dan penuh
dengan belatung menggerogotinya. Sekitar lima jasad petani telah dimutilasi
dibagian perutnya, entah apa maksud sipembunuh untuk mengambil isi perut dari
para petani tersebut. “toloooong......Dawson”
suara itu membangkitkan ayahku dari gubuk itu dan bergegaslah dia menuju
keluar.
Ternyata
penyihir itu membohongi ayahku dengan melanggar perjanjian yang telah dibuat,
semua warga di perkebunan menjadi korban para dukun, semua hampir menjadi
korban. Ayahku mulai gencar mencari ibuku yang tengah hamil tua, dia tidak bisa
meninggalkan ibuku yang sedang mengandung diriku sendirian dirumah.
Berlarilah
dengan kencang ayahku kearah rumah, disana sudah porak poranda dan sudah banyak
sekali korban berjatuhan disekeliling perkampungan. Ibuku sudah tidak ada
dirumah, perasaan ayahku sangatlah khawatir dengan keadaannya. Saat ayahku
berlari didekat saloon tempat ayahku bersama teman-temannya minum, Jack
tiba-tiba menikam ayahku dari belakang dan memukulkan kayu kepundak ayahku
sampai ayahku seketika pingsan.
“Kau
manusia lemah Dawson, lihat daerah dan teman-teman mu? Hanya hitungan beberapa
tahun sudah aku taklukan!.” Jack Loarde berkata sambil mengikat ayahku di
Saloon.
“Hahaha...”
“Kau
sangatlah konyol Dawson, perjanjian dengan iblis tidak selalu benar, apa peduli
kami dengan sebuah perjanjian? Tidak ada sama sekali.”
“Sudah
puas? Kami sudah merasakan kesejahteraan hidup, dan aku tidak pernah melihat
kesejahteraan seperti itu pada kaum iblis seperti mu. Bodoh, menamatkan kaum
kami hanya mendekatkan kami kepada surga.” Ayah terlihat menantang dan sambil
menyunggingkan senyumannya.
“Sudah
cukup puas kah?.”
****
Ayahku
tewas dengan tusukan pedang di tenggorokannya, para iblis tersebut berkeliaran
dan membakar perkampungan kami. Semua sudah seperti bahan bakar pada tungku
kompor yang membara, kepuasan para dukun iblis tersebut sangatlah terpancarkan
diwajah jahatnya. Perkebunan sudah tidak subur kembali seperti dulu, awanpun
tidak sama sekali merasakan keceriaan kembali saat musim panas saat itu. Tempat
kecil milik warga kami telah punah oleh para dukun itu.
Mungkin
jika aku besar nanti aku tidak akan merasakan betapa bahagianya kehidupan
dizaman ayahku waktu dulu, dan bagaimana lezatnya minuman di saloon itu.